TINJAUAN
YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI MENURUT SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 7
TAHUN 2014
A. Pengaturan
Pelaksanaan Peninjauan Kembali Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014
Pada tahun
1981, yaitu dengan
diberlakukannya
Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP),
hukum acara pidana
yang berasal dari zaman
kolonial, yaitu HIR
dan RBg dinyatakan
tidak berlaku lagi, karena dianggap sudah tidak sesuai
dengan keadaan Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Dalam
Bab XVIII bagian Kedua
KUHAP telah diatur
tentang peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sejak berlakunya
KUHAP sebagai landasan
hukum acara pidana,
maka sejak saat itu
pula lembaga peninjauan
kembali dalam perkara
pidana telah diatur
dengan undang-undang. Bahwasanya peninjauan kembali dilakukan hanya satu
(1) kali saja sesuai dengan pasal 268 ayat (3) yang mengatakan “Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Dengan
dalih keadilan, Mahkamah
Konstitusi akhirnya membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang
membatasi pengajuan peninjauan
kembali hanya
satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan
anaknya. Dengan begitu, pintu buat Antasari mengajukan peninjauan kembali untuk
kedua kalinya terbuka lebar. Ia ingin mengajukan peninjauan kembali dalam kasus kasus
pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang berakibat dirinya divonis 18 tahun penjara.
Putusan ini mensyiratkan peninjauan
kembali
boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268
ayat (2) KUHAP.
“Mengabulkan
permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat
membacakan putusan bernomor 34/PUU-XI/2013 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah berpendapat
upaya hukum luar biasa peninjauan
kembali secara
historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan
terpidana. Berbeda, upaya hukum biasa banding dan kasasi yang harus dikaitkan dengan
prinsip kepastian hukum. Sebab, tanpa kepastian hukum ada penentuan limitasi
waktu pengajuannya, justru
akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena
proses hukum tidak selesai.
“Upaya
hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil.
Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang
membatasi upaya hukum luar biasa hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja
setelah diajukannya peninjauan
kembali
dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat peninjauan kembali sebelumnya belum
ditemukan,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Adapun
penilaian sesuatu itu novum atau bukan novum merupakan kewenangan majelis Mahkamah Agung (MA) yang berwenang
mengadili pada tingkat peninjauan
kembali.
Karena itu, syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat
materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait kebenaran dan keadilan dalam
proses peradilan pidana seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Sementara
KUHAP sendiri bertujuan melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara terkait
dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental seperti dijamin 28 ayat
(4) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Karenanya, peninjauan kembali sebagai upaya hukum
luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni
untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah
menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak
demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang
sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum. “Kebenaran materiil
mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat
kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan,” tegasnya.
Karenanya,
lanjut Anwar, upaya hukum menemukan kebenaran materiil demi memenuhi kepastian
hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang inkracht dan menempatkan
terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP
yang menyebut, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.”
Menurut
Mahkamah adanya pembatasan hak dan kebebasan yang diatur UU seperti diatur
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tidak dapat diterapkan membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya satu kali.
Sebab, pengajuan peninjauan
kembali perkara pidana sangat
terkait dengan HAM yang paling mendasar menyangkut kebebasan dan kehidupan
manusia. Lagi pula,
pengajuan peninjauan
kembali
tidak terkait dengan jaminan pengakuan, penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain.
Diakui
Mahkamah dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, setiap perkara
harus ada akhirnya. Namun, asas itu terkait dengan kepastian hukum. Sedangkan
keadilan dalam perkara pidana asas itu tidak secara rigid dapat diterapkan
karena dengan hanya membolehkan peninjauan
kembali satu kali. Terlebih,
manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum).
“Hal
itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh
kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24
ayat (1) UUD 1945) serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum,”
Berdasarkan amar putusan
Mahkamah Konstitusi No : 34 /PUU-10 XI/2013 tanggal 6 maret 2014 butir 1.2 dinyatakan
bahwa pasal 268 ayat (3) Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang hukum acara
pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Negara
Republik Indonesia Nomor 3209 ) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Untuk terwujudnya kepastian
hukum permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung perlu memberikan petunjuk
sebagai berikut:
Bahwa pengaturan upaya hukum
peninjauan kembali selain diatur dalam ketentuan Undang-undang nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3209 ) yang normanya
telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagaimana tersebut diatas, juga diatur dalam beberapa
Undang-undang yaitu:
-
Undang-undang
nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076) pasal 24 ayat (2) berbunyi : “Terhadap
Putusan Peninajaun Kembali (PK) tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali (PK)”.
-
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), berbunyi : “ Permohonan Peninajuan Kembali dapat
dilakukan hanya (satu) 1 Kali”.
Bahwa dengan dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor
8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana oleh putusan Mahkamah Konstitusi No :
34 /PUU-10 XI/2013 tanggal 6 maret 2014, tidak serta merta menghapus norma
hukum yang mengatur permohonana Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 24
ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2009 tersebut. Berdasarkan hal
tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali
dalam perkara pidana
dibatasi hanya (satu) 1 Kali.
Permohonan peninjauan
kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) Kali terbatas pada
alasan yang dkiatur dalam surat edaran Mahakah Agung Nomor 10 tahun 2009
tentang pengajuan peninjauan kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua)
atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lainnya baik dalam
perkara perdata maupun perkara pidana;
Permohonan peninjauan
kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut diatas
agar dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat pertama permohona tersebut tidak
dapat diterima dan berkas.
B. Pengaturan
Jangka Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
Dalam hal membicarakan
tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali penulis membandingkan
tenggang waktu dari pengajuan Banding, pengajuan Kasasi sampai pada tenggang
waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali. Tenggang waktu mengajukan memori
banding, sudah dikatakan diterima atau tidak memori banding tidak digantung
pada ada atau tidak memori banding. Permohonan banding yang tidak dibarengi
memori banding tidak menghalangi pemeriksaan perkara pada tingkat banding.
Berdasarkan Ketentuan pasall
233 ayat (2) mengatakan :
Hanya permintaan banding
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh panitera pengadilan
negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan
diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
196 ayat (2). Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi, seperti yang telah
pernah disinggung seringkali pemohon kasasi kurang cermat memperhatikan
tenggang waktu yang dibenarkan undang-undang. Akibatnya, permohonan kasasi
tidak sah, karena hak untuk mengajukan kasasi gugur, dan permohonan kasasi
dinyatakan tidak diterima.
Tenggang waktu mengajukan
permohonan diatur dalam pasal 245 ayat(1) yang menegaskan :
1.
Permohonan
kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan negeri yang telah
memutus perkara dalam tingkat pertama,
2.
Permohoonan
diajukan dalam waktu empat belas (14) hari sesudah putusan pengadilan yang
hendak di kasasi diberitahukjan kepada terdakwa. Terlambat dari batas waktu
empat belas (14) hari, mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan
kasasi menjadi gugur seperti yang ditegaskan pasal 246 ayat (2).
Sebelum permohonan peninjauan kembali diserahkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan KUHAP Pengadilan Negeri
bertugas untuk memeriksa perkara peninjauan kembali terlebih dahulu. Dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri
berwenang untuk membentuk majelis hakim yang akan memeriksa
permohonan. Majelis hakim yang dibentuk akan melakukan
pemeriksaan terhadap materi peninjauan
kembali terdakwa maupun saksi atau barang
bukti yang diperlukan. Pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Negeri
bersifat resmi dan terbuka untuk umum. Setelah
pemeriksaan selesai, majelis hakim akan membuat pendapat
terhadap peninjauan
kembali
yang diajukan. Pendapat tersebut
dituangkan dalam Berita Acara Pendapat yang turut dilimpahkan bersama
berkas peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan
kehakiman yang berwenang untuk memutus permohonan peninjauan kembali. Berita acara pendapat dari Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan
pendahuluan peninjauan
kembali tidak selalu menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara. Pada saat memeriksa permohonan peninjauan kembali, majelis hakim Mahkamah Agung (MA) terdiri dari minimal tiga orang hakim Agung. Putusan dibacakan dan ditandatangani
oleh hakim agung yang melakukan pemeriksaan permohonan peninjauan kembali. Putusan peninjauan kembali
oleh Mahkamah Agung dapat berupa:
(1) permintaan dinyatakan tidak dapat
diterima,
(2) menolak permintaan Peninjauan Kembali,
atau
(3) menerima Peninjauan
Kembali.
Tenggang waktu mengajukan peninjauan
kembali diatur dalam pasal 264 ayat (3) yang mengatakan “Permintaan
peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu”. Secara tegas
ketentuan ini menetapkan bahwa permnintaan pengajukan peninjauan kembali
“Tanpa Batas”. Tidak ada
batas tengang waktu untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali. Kapan saja
boleh diajukan. Yang penting dan utama ada atau tidaknya alasan yang mampu
mendukung permintaan. Kapan saja terpidana atau ahli warisnya menemukan alasan
yang cukup mendasar untuk mendukung permintaan peninjauan kembali,
undang-undang tetap dan selamanya membuka pintu selebar-lebarnya . apakah
alasan itu nanti baru diperoleh pada generasi cucu terpidana tidak menjadi
soal. Silahkan sang cucu sebagai ahli waris terpidana mengajukan permintaan
Peninjauan Kembali.
C. Perkara
Pidana Yang Dapat Dilakukan Peninjauan Kembali
Putusan mengenai tindak
pidana yang didakwakan, menurut pakar hukum ada 3 (tiga) macam, yaitu amar
pembebasan (vrijspraak), pemidanaan (veroordeling), dan pelepasan dari segala
tuntutan hukum (onstlag van alle
rechtsvervolging).
Tiga macam putusan tersebut dicantumkan dalam pasal 191 ayat (1) dan (2), dan
Pasal 193 ayat (1) KUHAP beserta alasanya.
Amar putusan pembebasan
terdakwa dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan disidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Amar putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum dijatuhkan pada terdakwa apabila perbuatan yang
didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan
pidana. Sebaliknya, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindakan pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana.
Dalam perkara pidana, selain
tiga putusan yang disebutkan dalam pasal 191 ayat (1) dan ayat (2), dan pasal
193 ayat (1) KUHP, terdapat satu putusan lagi yakni putusan “tindakan” (maatregel) berdasarkan Undang-undang
nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan anak. Tindakan hanya dapat dijatuhkan
pada anak yang umurnya telah 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum
pernah kawin, yang terbukti bersalah melakukan tindakan pidana.
Pembentuk undang-undang
secara tegas mengemukakan kehendaknya dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa
hanya terhadap putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
saja boleh diajukan pemintaan Peninajauan Kembali (PK). Secara tegas pula
dinyatakan bahwa hanya terpidana saja yang mempunyai hak untuk mengajukan permintaan
PeninjauanKembali peninjauan kembali.
Tiga syarat formil tersebut
sangat logis, karena:
-
Lembaga
peninjauan kembali dibentuk ditujukan semata-mata untuk kepentingan
terpidana. Mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas negara
melalui putusan pengadilan yang salah/ sesat. Putusan yang salah tersebut
adalah putusan yang amarnya mempidana, dan yang tidak bisa lagi diubah melalui
upaya hukum biasa. Hanya putusan pengadilan yang mempidana saja yang mengandung
isi merampas dan memperkosa hak-hak dan keadilan terpidana (juga anak yang
dijatuhkan tindakan). Dengan adanya yang salah tersebut, membawa akibat penderitaan
dan bencana bagi terpidana, yang menurut hukum seharusnya tidak mengalami
penderitaan tersebut. Negara telah merampas hak-hak dan keadilan terpidana
secara tidak sah/melawan hukum. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab dan
hendak menebus kesalahannya tersebut. Untuk tujuan tersebut itulah negara
memberikan hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali
terhadap terpidana.
-
Kesalahan
Negara dalam proses peradilan pidana in
casu dalam hal menjatuhkan pidana, selalu membawa korban pada terpidana.
Negara tidak pernah menjadi korban dari kesalahan proses peradilan pidana. Oleh
karena itu, tidak mungkin negara diberikan hak untuk mengajukan permintaan peninjauan
kembali dengan tujuan membuat penderitaan terdakwa yang telah
diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum . Tapi negara ( Jaksa Agung) boleh
diberi hak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK) jika untuk melapaskan
penderitaan terpidana yang telah terlanjur dipidana. Hal ini meskipun tidak
diatur dalam KUHAP, namjun pernah diatur dalam Perma No 1 Tahun 1969 dan Perma No.
1 Tahun 1980,
serta dalam RSv, yaitu hukum acara pidana yang berlaku pada Rad Van Justite (RvJ) zaman penjajahan Hindia
Belanda dulu.
-
KUHAP
juga telah mengatur hak negara untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa
kasasi demi kepentingan hukum. Meskipun lembaga kasasi demi kepantingan hukum
dimaksaudkan untuk kepentingan umum, namun karena putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan (terpidana)
dari putusan semula, maka tidak tertutup
kemungkinan, bahwa secara kasuistis putusan kasasi demi kepentingan hukum dapat
membawa kemanfaatan bagi terpidana, apabila isi amar putusan kasasi demi
kepentingan hukum tersebut adalah pidana yang lebih ringan.
Putusan pemidanaan dapat
dijatuhkan apabila telah dipenuhinya syarat objektif dan subjektif yang
terdapat dalam Pasal 183 KUHAP. Syarat-syarat
yang dimaksudialah sebagai berikut:
a.
Syarat
objektif, yaitu hakim dalam memutus telah menggunakan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah.
b.
Syarat
subjektif, yaitu, yaitu dari dua alat bukti yang sah tersebut hakim mendapat
keyakinan bahwa:
-
Benar
telah terjadi tindak pidana (sesuai yang didakwakan )
-
Benar
terdakwa yang melakukannya
-
Benar
terdakwa bersalah (dapat dipersalahkan)
Putusan mengenai tindak pidana yang didakwakan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang tidak dapat dilawan dengan
upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi. Upaya hukum peninjauan
kembali boleh dimintakan hanya terhadap Putusan yang amar
putusannya mempidana saja.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pelaksanaan
peninjauan kembali Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun
2014
Pelaksanaan peninjauan kembali menurut Surat Edaran Mahkamah Agung hanya
dapat dilakukan satu kali saja mengacu kembali pada KUHAP.
2.
Pengaturan
jangka Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
Tidak ada batas waktu
dalam pengajuan Peninjauan Kembali, yang lebih diutamakan ialah terpenuhinya
syarat-syarat pengajuan Peninjauan
Kembali yang diatur UU dan
KUHAP.
3.
Apa
jenis putusan pidana yang dapat
dilakukan Peninjauan Kembali
Putusan mengenai tindak pidana
yang didakwakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang
tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi. Upaya
hukum Peninjauan Kembali boleh dimntakan hanya terhadap Putusan yang amar
putusannya mempidana saja.
B.
Saran
1. Dalam pengaturan
pelaksanan peninjauan kembali kalau mengacu kembali terhadap Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak perlu dikeluarkannya SEMA
terbaru untuk mengatur pelaksanaan peninjauan kembali agar tidak memperumit
mayarakat yang ingin melakukan peninjauan kembali.
2. Pengaturan jangka waktu pengajuan peninjauan kembali
haruslah di buat batas waktunya agar perkara tersebut dapat selesai tanpa harus bertahun-tahun
3. Putusan pidana yang dapat dilakukan peninjauan kembali
haruslah dibuat secara spesifik atau dibuat dalam satu peraturan dan dilihat
batasan hukuman yang diputuskan kepada siterpidana agar tidak seluruh putusan
pidana dapat dilakukan peninjauan kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
Atang Ranomihardja, R. 1976. Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung
H. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Jakarta.
Citra Aditya Bakti
Hadari
djenawi Tahir.1982. Bab Tentang
Herziening di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.Bandung.Alumni
Soedirdjo,1968,Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Arti
Dan Makna, Akademika, Jakarta,
Achmad Ali.2002. Keterpurukan
Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya. Jakarta: Ghalia Indonesia
Al. Wisnubroto. 1997. Hakim dan Peradilan Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atmajaya
Erni Widhayanti. 1988. Hak-hak Tersangka /Terdakwa Di dalam KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta
Hadari Djenawi Tahir. 1982. Bab Tentang Herziening di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Bandung: Alumni
M.Yahyah
harahap,1988, Pembebasan permasalahan dan
Penerapan KUHAP (JilidII), Jakarta. Pustaka Kartini
Leden
Marpaung.2000.Perumusan Memori Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika