Selasa, 06 Desember 2016

TINJAUAN YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI MENURUT SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 7 TAHUN 2014

TINJAUAN YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI MENURUT SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 7 TAHUN 2014
A.      Pengaturan Pelaksanaan Peninjauan Kembali Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)  Nomor 7 Tahun 2014
Pada  tahun  1981,  yaitu  dengan  diberlakukannya  Undang-undang  Nomor  8 Tahun  1981  Tentang  Hukum  Acara  Pidana  (KUHAP),  hukum  acara  pidana  yang berasal  dari  zaman  kolonial,  yaitu  HIR  dan  RBg  dinyatakan  tidak  berlaku  lagi, karena dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan Negara Indonesia sebagai negara hukum  berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-undang  Dasar  1945.  Dalam  Bab  XVIII bagian  Kedua  KUHAP  telah  diatur  tentang  peninjauan  kembali  putusan  pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sejak  berlakunya  KUHAP  sebagai  landasan  hukum  acara  pidana,  maka  sejak saat  itu  pula  lembaga  peninjauan  kembali  dalam  perkara  pidana  telah  diatur  dengan undang-undang. Bahwasanya peninjauan kembali dilakukan hanya satu (1) kali saja sesuai dengan pasal 268 ayat (3) yang mengatakan “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Dengan dalih keadilan, Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya. Dengan begitu, pintu buat Antasari mengajukan peninjauan kembali untuk kedua kalinya terbuka lebar. Ia ingin mengajukan peninjauan kembali dalam kasus kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang berakibat dirinya divonis 18 tahun penjara. Putusan ini mensyiratkan peninjauan kembali boleh diajukan berkali-kali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 34/PUU-XI/2013 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah berpendapat upaya hukum luar biasa peninjauan kembali secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Berbeda, upaya hukum biasa banding dan kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum. Sebab, tanpa kepastian hukum ada penentuan limitasi waktu pengajuannya, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai.
“Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya peninjauan kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat peninjauan kembali sebelumnya belum ditemukan,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Adapun penilaian sesuatu itu novum atau bukan novum merupakan kewenangan majelis Mahkamah Agung (MA) yang berwenang mengadili pada tingkat peninjauan kembali. Karena itu, syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Sementara KUHAP sendiri bertujuan melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental seperti dijamin 28 ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Karenanya, peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum. “Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan,” tegasnya.  
Karenanya, lanjut Anwar, upaya hukum menemukan kebenaran materiil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang inkracht dan menempatkan terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyebut, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.”
Menurut Mahkamah adanya pembatasan hak dan kebebasan yang diatur UU seperti diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tidak dapat diterapkan membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya satu kali. Sebab, pengajuan peninjauan kembali perkara pidana sangat terkait dengan HAM yang paling mendasar menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan peninjauan kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan, penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Diakui Mahkamah dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, setiap perkara harus ada akhirnya. Namun, asas itu terkait dengan kepastian hukum. Sedangkan keadilan dalam perkara pidana asas itu tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali. Terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum).
“Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945) serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum,”
Berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi No : 34 /PUU-10 XI/2013 tanggal 6 maret 2014 butir 1.2 dinyatakan bahwa pasal 268 ayat (3) Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3209 ) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Untuk terwujudnya kepastian hukum permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung perlu memberikan petunjuk sebagai berikut:
Bahwa pengaturan upaya hukum peninjauan kembali selain diatur dalam ketentuan Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3209 ) yang normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tersebut diatas, juga diatur dalam beberapa Undang-undang yaitu:
-            Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) pasal 24 ayat (2) berbunyi : “Terhadap Putusan Peninajaun Kembali (PK) tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali (PK)”.
-            Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), berbunyi : “ Permohonan Peninajuan Kembali dapat dilakukan hanya (satu) 1 Kali”.
Bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana oleh putusan Mahkamah Konstitusi No : 34 /PUU-10 XI/2013 tanggal 6 maret 2014, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonana Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang  Nomor 5 tahun  2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 tersebut.  Berdasarkan hal tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya (satu) 1 Kali.
Permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) Kali terbatas pada alasan yang dkiatur dalam surat edaran Mahakah Agung Nomor 10 tahun 2009 tentang pengajuan peninjauan kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lainnya baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana;
Permohonan peninjauan kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut diatas agar dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat pertama permohona tersebut tidak dapat diterima dan berkas.   



B.       Pengaturan Jangka Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
Dalam hal membicarakan tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali penulis membandingkan tenggang waktu dari pengajuan Banding, pengajuan Kasasi sampai pada tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali. Tenggang waktu mengajukan memori banding, sudah dikatakan diterima atau tidak memori banding tidak digantung pada ada atau tidak memori banding. Permohonan banding yang tidak dibarengi memori banding tidak menghalangi pemeriksaan perkara pada tingkat banding.
Berdasarkan Ketentuan pasall 233 ayat (2) mengatakan :
Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2). Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi, seperti yang telah pernah disinggung seringkali pemohon kasasi kurang cermat memperhatikan tenggang waktu yang dibenarkan undang-undang. Akibatnya, permohonan kasasi tidak sah, karena hak untuk mengajukan kasasi gugur, dan permohonan kasasi dinyatakan tidak diterima.
Tenggang waktu mengajukan permohonan diatur dalam pasal 245 ayat(1) yang menegaskan :
1.        Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama,
2.        Permohoonan diajukan dalam waktu empat belas (14) hari sesudah putusan pengadilan yang hendak di kasasi diberitahukjan kepada terdakwa. Terlambat dari batas waktu empat belas  (14) hari,  mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur seperti yang ditegaskan pasal 246 ayat (2).
Sebelum permohonan peninjauan kembali diserahkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan KUHAP Pengadilan Negeri bertugas untuk memeriksa perkara peninjauan kembali terlebih dahulu. Dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk membentuk majelis hakim yang akan memeriksa permohonan. Majelis hakim yang dibentuk akan melakukan pemeriksaan terhadap materi peninjauan kembali terdakwa maupun saksi atau barang bukti yang diperlukan. Pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Negeri bersifat resmi dan terbuka untuk umum. Setelah pemeriksaan selesai, majelis hakim akan membuat pendapat terhadap peninjauan kembali yang diajukan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pendapat yang turut dilimpahkan bersama berkas peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk memutus permohonan peninjauan kembali. Berita acara pendapat dari Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan pendahuluan peninjauan kembali tidak selalu menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara. Pada saat memeriksa permohonan peninjauan kembali, majelis hakim Mahkamah Agung (MA) terdiri dari minimal tiga orang hakim Agung. Putusan dibacakan dan ditandatangani oleh hakim agung yang melakukan pemeriksaan permohonan peninjauan kembali. Putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung dapat berupa:
(1) permintaan dinyatakan tidak dapat diterima,
(2) menolak permintaan Peninjauan Kembali, atau
(3) menerima Peninjauan Kembali.
Tenggang waktu mengajukan peninjauan kembali diatur dalam pasal 264 ayat (3) yang mengatakan “Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu”. Secara tegas ketentuan ini menetapkan bahwa permnintaan pengajukan peninjauan kembali “Tanpa Batas”. Tidak ada batas tengang waktu untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali. Kapan saja boleh diajukan. Yang penting dan utama ada atau tidaknya alasan yang mampu mendukung permintaan. Kapan saja terpidana atau ahli warisnya menemukan alasan yang cukup mendasar untuk mendukung permintaan peninjauan kembali, undang-undang tetap dan selamanya membuka pintu selebar-lebarnya . apakah alasan itu nanti baru diperoleh pada generasi cucu terpidana tidak menjadi soal. Silahkan sang cucu sebagai ahli waris terpidana mengajukan permintaan Peninjauan Kembali.


C.      Perkara Pidana Yang Dapat Dilakukan Peninjauan Kembali
Putusan mengenai tindak pidana yang didakwakan, menurut pakar hukum ada 3 (tiga) macam, yaitu amar pembebasan (vrijspraak), pemidanaan (veroordeling), dan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging)[1]. Tiga macam putusan tersebut dicantumkan dalam pasal 191 ayat (1) dan (2), dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP beserta alasanya.
Amar putusan pembebasan terdakwa dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Amar putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan pada terdakwa apabila perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana. Sebaliknya, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dalam perkara pidana, selain tiga putusan yang disebutkan dalam pasal 191 ayat (1) dan ayat (2), dan pasal 193 ayat (1) KUHP, terdapat satu putusan lagi yakni putusan “tindakan” (maatregel) berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang peradilan anak. Tindakan hanya dapat dijatuhkan pada anak yang umurnya telah 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin, yang terbukti bersalah melakukan tindakan pidana.
Pembentuk undang-undang secara tegas mengemukakan kehendaknya dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa hanya terhadap putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap saja boleh diajukan pemintaan Peninajauan Kembali (PK). Secara tegas pula dinyatakan bahwa hanya terpidana saja yang mempunyai hak untuk mengajukan permintaan PeninjauanKembali peninjauan kembali.
Tiga syarat formil tersebut sangat logis, karena:
-            Lembaga peninjauan kembali dibentuk ditujukan semata-mata untuk kepentingan terpidana. Mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas negara melalui putusan pengadilan yang salah/ sesat. Putusan yang salah tersebut adalah putusan yang amarnya mempidana, dan yang tidak bisa lagi diubah melalui upaya hukum biasa. Hanya putusan pengadilan yang mempidana saja yang mengandung isi merampas dan memperkosa hak-hak dan keadilan terpidana (juga anak yang dijatuhkan tindakan). Dengan adanya yang salah tersebut, membawa akibat penderitaan dan bencana bagi terpidana, yang menurut hukum seharusnya tidak mengalami penderitaan tersebut. Negara telah merampas hak-hak dan keadilan terpidana secara tidak sah/melawan hukum. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab dan hendak menebus kesalahannya tersebut. Untuk tujuan tersebut itulah negara memberikan hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap terpidana.
-            Kesalahan Negara dalam proses peradilan pidana in casu dalam hal menjatuhkan pidana, selalu membawa korban pada terpidana. Negara tidak pernah menjadi korban dari kesalahan proses peradilan pidana. Oleh karena itu, tidak mungkin negara diberikan hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dengan tujuan membuat penderitaan terdakwa yang telah diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum . Tapi negara ( Jaksa Agung) boleh diberi hak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK) jika untuk melapaskan penderitaan terpidana yang telah terlanjur dipidana. Hal ini meskipun tidak diatur dalam KUHAP, namjun pernah diatur dalam Perma No 1 Tahun 1969 dan Perma No. 1 Tahun 1980,[2] serta dalam RSv, yaitu hukum acara pidana yang berlaku pada Rad Van Justite (RvJ) zaman penjajahan Hindia Belanda dulu.
-            KUHAP juga telah mengatur hak negara untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum. Meskipun lembaga kasasi demi kepantingan hukum dimaksaudkan untuk kepentingan umum, namun karena putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan (terpidana) dari putusan semula, [3] maka tidak tertutup kemungkinan, bahwa secara kasuistis putusan kasasi demi kepentingan hukum dapat membawa kemanfaatan bagi terpidana, apabila isi amar putusan kasasi demi kepentingan hukum tersebut adalah pidana yang lebih ringan.
Putusan pemidanaan dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhinya syarat objektif dan subjektif yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.  Syarat-syarat yang dimaksudialah sebagai berikut:
a.         Syarat objektif, yaitu hakim dalam memutus telah menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b.        Syarat subjektif, yaitu, yaitu dari dua alat bukti yang sah tersebut hakim mendapat keyakinan bahwa:
-            Benar telah terjadi tindak pidana (sesuai yang didakwakan )
-            Benar terdakwa yang melakukannya
-            Benar terdakwa bersalah (dapat dipersalahkan)
Putusan mengenai  tindak pidana yang didakwakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi.[4] Upaya hukum peninjauan kembali boleh dimintakan hanya terhadap Putusan yang amar putusannya mempidana saja.




PENUTUP
A.       Kesimpulan
1.        Pelaksanaan peninjauan kembali Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014
Pelaksanaan peninjauan kembali menurut Surat Edaran Mahkamah Agung hanya dapat dilakukan satu kali saja mengacu kembali pada KUHAP.
2.        Pengaturan jangka Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
Tidak ada batas waktu dalam pengajuan Peninjauan Kembali, yang lebih diutamakan ialah terpenuhinya syarat-syarat pengajuan Peninjauan Kembali yang diatur UU dan KUHAP.
3.        Apa jenis putusan  pidana yang dapat dilakukan Peninjauan Kembali
Putusan mengenai  tindak pidana yang didakwakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi. Upaya hukum Peninjauan Kembali boleh dimntakan hanya terhadap Putusan yang amar putusannya mempidana saja.

B.       Saran
1.      Dalam pengaturan  pelaksanan peninjauan kembali kalau mengacu kembali terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak perlu dikeluarkannya SEMA terbaru untuk mengatur pelaksanaan peninjauan kembali agar tidak memperumit mayarakat yang ingin melakukan peninjauan kembali.
2.      Pengaturan jangka waktu pengajuan peninjauan kembali haruslah di buat batas waktunya agar perkara tersebut dapat selesai  tanpa harus bertahun-tahun
3.      Putusan pidana yang dapat dilakukan peninjauan kembali haruslah dibuat secara spesifik atau dibuat dalam satu peraturan dan dilihat batasan hukuman yang diputuskan kepada siterpidana agar tidak seluruh putusan pidana dapat dilakukan peninjauan kembali.




DAFTAR PUSTAKA
Poerdarminta WJS. 1976. Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta. Balai  Pustaka
Atang Ranomihardja, R. 1976. Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung
H. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Jakarta. Citra Aditya  Bakti
Hadari djenawi Tahir.1982. Bab Tentang Herziening di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.Bandung.Alumni
Soedirdjo,1968,Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Arti Dan Makna, Akademika, Jakarta,
Achmad Ali.2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya. Jakarta: Ghalia Indonesia
Al. Wisnubroto. 1997. Hakim dan Peradilan Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atmajaya
Erni Widhayanti. 1988. Hak-hak Tersangka /Terdakwa Di dalam KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta
Hadari Djenawi Tahir. 1982. Bab Tentang Herziening di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bandung: Alumni
M.Yahyah harahap,1988, Pembebasan permasalahan dan Penerapan KUHAP (JilidII), Jakarta. Pustaka Kartini
Leden Marpaung.2000.Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika







[1]  E. Utrecht, loc, cit.
[2] Lihat Pasal 4 Perma No.1 Tahun 1969 dan Pasal 10 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)  No 1 Tahun 1980. Dalam Hukum Acara Peradilan pada Raad van justite (Rvj) Zaman Hindia Belanda Dulu Terdapat Pasal 536 Reglement Op De Strafvordering (Rsv).
[3] Lihat Pasal 356 dan 357 RSv
[4] M.Yahyah harahap,1988, Pembebasan permasalahan dan Penerapan KUHAP (JilidII), Pustaka Kartini, Jakarta, Halaman 1189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar